Pages

Assalamualaikum... Selamat datang di duniaku, enjoy my blog

Kamis, 26 September 2013

NIGHTMARE

NIGHTMARE
Dihadapan ku kini berdiri sebuah bangunan sederhana. Bangunan itu berdinding beton yang dicat putih. Bangunan itu terbagi menjadi 3 ruangan besar yang disekat dengan kaca bening namun dipasang gorden pemisah untuk melindungi privasi semua penghuninya. Masing-masing ruangan berukuran 5x10 m2 dengan sebuah pintu masuk di depan.
Ruangan paling ujung kanan dihuni oleh Mayang, temanku semasa SMA, dia merantau kekota ini mengikuti pekeraannya yang seorang anggota Satpol PP dia periang, namun dia selalu sibuk diluar dengan kegiatan-kegiatan sosialnya. Ruangan tengah dihuni oleh Desi teman kuliahku. Sekarang dia sudah berhenti kuliah dan bekerja menjadi pegawai honorer sebagai asisten seorang istri pejabat di kota ini. Tapi sudah sejak 1 bulan yang lalu dia alih tanggung jawab menjadi “asisten” anak pejabat tersebut, karena sudah sebulan ini anak sang pejabat hanya bisa duduk dikursi roda akibat kecelakaan motor yang menimpanya.
Ruangan paling ujung kiri dihuni oleh Firman si anak pejabat. Kenapa dia tinggal disitu? Karena dia adalah pemilik kos-kosan ini. Dia juga yang bertanggung jawab atas keamanan lingkungan kos yang ternyata tidak hanya terdiri dari bangunan ini, tapi masih banyak bangunan-bangunan serupa disamping kanan kiri dan seberangnya. Firman tinggal dengan asisten pribadinya, Pak Saiful yang selalu membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. walau begitu, pernah juga kulihat Desi mencucikan kaos kaki milik Firman, karena ketika itu Pak Saiful sedang tidak ada, pulang kampung menjenguk keluarganya yang sedang sakit.
Hari ini aku kembali kesini untuk menginap, sudah lama aku tidak kumpul-kumpul dengan Mayang dan Desi. Aku senang sekali karena kedua temanku ini tinggal di satu kos yang sama, sehingga tidak susah-susah lagi menemui mereka.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam. Mayang masih ada tugas lembur dikantornya. Di kamar Desi sedang ada rapat untuk sebuah acara yang cukup besar dengan kehadiran pejabat propinsi yang akan dilaksanakan selama 3 hari di kota kami. Acara tersebut akan dimulai besok, sehingga malam ini diadakan rapat pemantapan untuk kegiatan tersebut. Teman-teman Desi yang datang cukup banyak, membuat suasana yang sangat bising disini. Aku sudah mulai merasa bosan, karena aku sendiri kurang mengerti yang sedang mereka bicarakan. Mayang juga lupa menitipkan kunci kamarnya padaku
Kebetulan Firman sedang menginap dirumah orangtuanya, jadi aku berniat nonton TV dikamar Firman. Kulihat Pak Saiful sedang membersihkan kaca pembatas antara kamar Firman dan Kamar Desi. Tak apalah jika aku hanya numpang menonton TV.
Dari depan TV, terlihat orang-orang yang sedang rapat dikamar Desi. Aku duduk dengan jarak 2 meter dari depan TV. Tak berapa lama Pak Saiful berlalu setelah terlebih dahulu menutup gorden pembatas dinding kaca. Perasaanku mulai tidak enak. Kuurungkan niat untuk menonton TV dan kuputuskan kembali ke kamar Desi, menunggu rapat selesai.
Langkahku cepat menuju pintu, perasaan ku semakin tidak karuan, ternyata benar Pak Saiful sudah ada disana, berdiri dibelakang pintu. Ku coba meraih gagang pintu, namun Pak Saiful menghalanginya.
“Maaf pak, saya mau ke kamar Desi” pintaku
“Tinggallah saja disini” jawabnya
“Tidak pak, biarkan saya keluar” sahutku mulai emosi
“Ayolah disini saja, temani aku” ucapnya sambil berusaha mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Aku memberontak namun tangannya mencoba untuk memelukku. Dengan sekuat tenaga ku pertahankan diri, berusaha agar tak sepenuhnya bisa dikuasai. Setelah berusaha cukup keras, sekarang posisinya terbalik, aku yang berada persis dibalik pintu. Sambil terus menahan gerakannya, tanganku bergerak cepat meraih kunci yang masih berada pada tempatnya.
“klik” suara kunci terbuka, namun aku masih sulit untuk melepaskan diri dari cengkraman kasar tangan Pak Saiful. Aku semakin ketakutan ketika melihat sebilah pisau yang dikeluarkan dari saku celananya. Entah dapat kekuatan dari mana, akupun berhasil mendorong tubuh Pak Saiful sampai jatuh ke lantai. Dia melemparkan pisau tadi kearahku, secepat kilat aku menghindarinya dan berhasil keluar dari ruangan itu. Tinggallah pisau tajam berkilat menancap pada bagian dalam pintu kamar yang terbuat dari kayu.
Aku tergugu ketakutan sampai subuh.
Pagi itu kutinggalkan kos-kosan Desi tanpa bercerita sedikitpun tentang kejadian semalam.
Aku pergi ke kampus dan bertemu dengan Herman, dia adalah teman baikku. Kuceritakan apa yang ku alami malam tadi dikos Desi.
“Ah,,santai saja” sahutnya setelah panjang lebar ku ceritakan. Dia memang selalu begitu, menyederhakan segala hal. Tapi di sisi lain, Herman cukup cerdas dalam menyelesaikan semua masalah, karena itu aku datang padanya.
Ku ikuti terus Herman yang sedang naik menuju atap gedung kampus. Aku ketakutan, aku takut Pak Saiful masih mengejar dan ingin membunuhku.
Sesampainya di atap kampus, aku sangat terkejut, karena disana sudah ada Pak Saiful yang sedang berdiri di pinggir pagar menatap pemandangan dibawahnya. Tak ku sangka Herman malah berjalan cepat mendekati Pak Saiful, mengejutkan dengan tepukan dipundaknya. Pak saiful berbalik yang langsung dihadiahi Herman sebuah tinjuan tepat diwajahnya.
Pak Saiful tidak tinggal diam, sejurus kemudian, Herman lah yang mendapat tinjuan bertubi-tubi darinya tanpa ampun. Herman jatuh tersungkur dan berusaha berdiri, namun kecepatan tendangan kaki Pak Saiful melumpuhkannya. Herman berusaha merayap, diikuti langkah kaki pincang Pak Saiful yang terdengar diseret-seret. Pak Saiful mengambil sebuah batu besar yang tergeletak di lantai atap dengan tekstur tak beraturan yang tajam seukuran kepalan tangan orang dewasa. Dipukulnya kepala Herman dengan batu itu sampai mengeluarkan darah yang membasahi lantai.
Aku hanya terpaku menyaksikan keadian itu. Hening menyelinap dan sunyi, karena hanya ada kami bertiga. Sepertinya Herman sudah tidak bernyawa lagi. Tanpa sadar aku menjerit. Sekarang perhatian Pak Saiful tertuju padaku. Aku berusaha menyelamatkan diri, berlari kencang sebisaku. Pak Saiful sigap berlari ke arahku.
Tanpa pikir panjang, aku melompat dari atap gedung berlantai 3. Aku terjatuh diantara semak belukar dan dedaunan kering serta ranting pohon jambu dibelakang kampus. Kakiku terasa sakit saat menyentuh tanah.
Ku raih Handpone dari kantong baju, ku cari sebuah nama, Nadia. Dia adalah istri Herman. Mereka menikah 2 tahun yang lalu dan sekarang mereka sudah mempunyai seorang anak lucu berumur 1 tahun.
“Nadia, maaf kali ini bukan kabar gembira yang kukirim untukmu.
Saat ini Herman sudah tiada karena berusaha menyelamatkanku.
Aku turut berduka, Diah sudah tidak lagi mempunyai ayah.
Kuharap kau segera melapor ke polisi, karena mungkin sebantar lagi, aku akan menyusul Herman”.

Ku kirim pesan pendek kepada Nadia sambil terus berlari menyusuri semak belukar hutan dibelakang kampus. Hatiku miris membayangkan kenyataan pahit yang akan dijalani Nadia.
“Maafkan aku Nadia”. Bisikku.
Sementara itu dari jauh terlihat Pak Saiful masih mengejarku dengan menggenggam batu berlumuran darah, matanya menatap tajam penuh amarah.
Tiba-tiba kakiku terasa kaku, pandanganku menjadi kabur.
Perlahan ku buka mata. Disamping kanan dan kiri beberapa orang sedang berdiri menatapku yang terlentang dalam sebuah wadah panjang seukuran tubuh manusia. Bau aroma khas menyeruput masuk ke dalam hidungku. Air dingin membasahi tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sebuah kain panjang bermotif batik dengan warna coklat muda juga ikut basah. Tetesan air meluncur jatuh ke bawah, menggenang. Ku lihat 3 buah batu hitam dalam genangan air.
Sayup terdengar lantunan ayat-ayat suci yang bercampur dengan suara tangis dari seseorang yang sangat ku kenal, ibuku.
“Rara, jangan tinggalkan ibu nak” bisiknya sambil terisak.
Ingin sekali ku sampaikan, betapa aku sangat menyayanginya, tapi lidahku terasa kaku, tak mampu untuk berucap.
Mataku terus menerawang, memandangi arak-arakan awan putih dilangit. Berjalan tak berdaya mengikuti arah angin. Sementara itu, sekali lagi terdengar suara gemericik air disiramkan lembut ke arahku. Kembali air itu bermuara dibawah tubuhku, diantara beberapa potongan gadang pisang yang tersusun rapi.

Sejurus kemudian, hening.

0 komentar :