NIGHTMARE
Dihadapan
ku kini berdiri sebuah bangunan sederhana. Bangunan itu berdinding beton yang
dicat putih. Bangunan itu terbagi menjadi 3 ruangan besar yang disekat dengan kaca
bening namun dipasang gorden pemisah untuk melindungi privasi semua
penghuninya. Masing-masing ruangan berukuran 5x10 m2 dengan sebuah
pintu masuk di depan.
Ruangan
paling ujung kanan dihuni oleh Mayang, temanku semasa SMA, dia merantau kekota
ini mengikuti pekeraannya yang seorang anggota Satpol PP dia periang, namun dia
selalu sibuk diluar dengan kegiatan-kegiatan sosialnya. Ruangan tengah dihuni
oleh Desi teman kuliahku. Sekarang dia sudah berhenti kuliah dan bekerja menjadi
pegawai honorer sebagai asisten seorang istri pejabat di kota ini. Tapi sudah
sejak 1 bulan yang lalu dia alih tanggung jawab menjadi “asisten” anak pejabat
tersebut, karena sudah sebulan ini anak sang pejabat hanya bisa duduk dikursi
roda akibat kecelakaan motor yang menimpanya.
Ruangan
paling ujung kiri dihuni oleh Firman si anak pejabat. Kenapa dia tinggal
disitu? Karena dia adalah pemilik kos-kosan ini. Dia juga yang bertanggung
jawab atas keamanan lingkungan kos yang ternyata tidak hanya terdiri dari
bangunan ini, tapi masih banyak bangunan-bangunan serupa disamping kanan kiri
dan seberangnya. Firman tinggal dengan asisten pribadinya, Pak Saiful yang
selalu membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. walau begitu, pernah juga
kulihat Desi mencucikan kaos kaki milik Firman, karena ketika itu Pak Saiful
sedang tidak ada, pulang kampung menjenguk keluarganya yang sedang sakit.
Hari
ini aku kembali kesini untuk menginap, sudah lama aku tidak kumpul-kumpul
dengan Mayang dan Desi. Aku senang sekali karena kedua temanku ini tinggal di
satu kos yang sama, sehingga tidak susah-susah lagi menemui mereka.
Jam
dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam. Mayang masih ada tugas lembur
dikantornya. Di kamar Desi sedang ada rapat untuk sebuah acara yang cukup besar
dengan kehadiran pejabat propinsi yang akan dilaksanakan selama 3 hari di kota
kami. Acara tersebut akan dimulai besok, sehingga malam ini diadakan rapat
pemantapan untuk kegiatan tersebut. Teman-teman Desi yang datang cukup banyak, membuat
suasana yang sangat bising disini. Aku sudah mulai merasa bosan, karena aku
sendiri kurang mengerti yang sedang mereka bicarakan. Mayang juga lupa
menitipkan kunci kamarnya padaku
Kebetulan
Firman sedang menginap dirumah orangtuanya, jadi aku berniat nonton TV dikamar
Firman. Kulihat Pak Saiful sedang membersihkan kaca pembatas antara kamar
Firman dan Kamar Desi. Tak apalah jika aku hanya numpang menonton TV.
Dari
depan TV, terlihat orang-orang yang sedang rapat dikamar Desi. Aku duduk dengan
jarak 2 meter dari depan TV. Tak berapa lama Pak Saiful berlalu setelah terlebih
dahulu menutup gorden pembatas dinding kaca. Perasaanku mulai tidak enak.
Kuurungkan niat untuk menonton TV dan kuputuskan kembali ke kamar Desi,
menunggu rapat selesai.
Langkahku
cepat menuju pintu, perasaan ku semakin tidak karuan, ternyata benar Pak Saiful
sudah ada disana, berdiri dibelakang pintu. Ku coba meraih gagang pintu, namun Pak
Saiful menghalanginya.
“Maaf
pak, saya mau ke kamar Desi” pintaku
“Tinggallah
saja disini” jawabnya
“Tidak
pak, biarkan saya keluar” sahutku mulai emosi
“Ayolah
disini saja, temani aku” ucapnya sambil berusaha mendekatkan wajahnya ke
wajahku.
Aku
memberontak namun tangannya mencoba untuk memelukku. Dengan sekuat tenaga ku
pertahankan diri, berusaha agar tak sepenuhnya bisa dikuasai. Setelah berusaha
cukup keras, sekarang posisinya terbalik, aku yang berada persis dibalik pintu.
Sambil terus menahan gerakannya, tanganku bergerak cepat meraih kunci yang
masih berada pada tempatnya.
“klik”
suara kunci terbuka, namun aku masih sulit untuk melepaskan diri dari
cengkraman kasar tangan Pak Saiful. Aku semakin ketakutan ketika melihat
sebilah pisau yang dikeluarkan dari saku celananya. Entah dapat kekuatan dari
mana, akupun berhasil mendorong tubuh Pak Saiful sampai jatuh ke lantai. Dia
melemparkan pisau tadi kearahku, secepat kilat aku menghindarinya dan berhasil
keluar dari ruangan itu. Tinggallah pisau tajam berkilat menancap pada bagian
dalam pintu kamar yang terbuat dari kayu.
Aku
tergugu ketakutan sampai subuh.
Pagi
itu kutinggalkan kos-kosan Desi tanpa bercerita sedikitpun tentang kejadian semalam.
Aku
pergi ke kampus dan bertemu dengan Herman, dia adalah teman baikku. Kuceritakan
apa yang ku alami malam tadi dikos Desi.
“Ah,,santai
saja” sahutnya setelah panjang lebar ku ceritakan. Dia memang selalu begitu, menyederhakan
segala hal. Tapi di sisi lain, Herman cukup cerdas dalam menyelesaikan semua
masalah, karena itu aku datang padanya.
Ku
ikuti terus Herman yang sedang naik menuju atap gedung kampus. Aku ketakutan,
aku takut Pak Saiful masih mengejar dan ingin membunuhku.
Sesampainya
di atap kampus, aku sangat terkejut, karena disana sudah ada Pak Saiful yang
sedang berdiri di pinggir pagar menatap pemandangan dibawahnya. Tak ku sangka
Herman malah berjalan cepat mendekati Pak Saiful, mengejutkan dengan tepukan
dipundaknya. Pak saiful berbalik yang langsung dihadiahi Herman sebuah tinjuan
tepat diwajahnya.
Pak
Saiful tidak tinggal diam, sejurus kemudian, Herman lah yang mendapat tinjuan
bertubi-tubi darinya tanpa ampun. Herman jatuh tersungkur dan berusaha berdiri,
namun kecepatan tendangan kaki Pak Saiful melumpuhkannya. Herman berusaha
merayap, diikuti langkah kaki pincang Pak Saiful yang terdengar diseret-seret. Pak
Saiful mengambil sebuah batu besar yang tergeletak di lantai atap dengan
tekstur tak beraturan yang tajam seukuran kepalan tangan orang dewasa.
Dipukulnya kepala Herman dengan batu itu sampai mengeluarkan darah yang
membasahi lantai.
Aku
hanya terpaku menyaksikan keadian itu. Hening menyelinap dan sunyi, karena
hanya ada kami bertiga. Sepertinya Herman sudah tidak bernyawa lagi. Tanpa
sadar aku menjerit. Sekarang perhatian Pak Saiful tertuju padaku. Aku berusaha
menyelamatkan diri, berlari kencang sebisaku. Pak Saiful sigap berlari ke arahku.
Tanpa
pikir panjang, aku melompat dari atap gedung berlantai 3. Aku terjatuh diantara
semak belukar dan dedaunan kering serta ranting pohon jambu dibelakang kampus. Kakiku
terasa sakit saat menyentuh tanah.
Ku
raih Handpone dari kantong baju, ku cari sebuah nama, Nadia. Dia adalah istri
Herman. Mereka menikah 2 tahun yang lalu dan sekarang mereka sudah mempunyai
seorang anak lucu berumur 1 tahun.
“Nadia,
maaf kali ini bukan kabar gembira yang kukirim untukmu.
Saat
ini Herman sudah tiada karena berusaha menyelamatkanku.
Aku
turut berduka, Diah sudah tidak lagi mempunyai ayah.
Kuharap
kau segera melapor ke polisi, karena mungkin sebantar lagi, aku akan menyusul
Herman”.
Ku
kirim pesan pendek kepada Nadia sambil terus berlari menyusuri semak belukar
hutan dibelakang kampus. Hatiku miris membayangkan kenyataan pahit yang akan
dijalani Nadia.
“Maafkan aku Nadia”.
Bisikku.
Sementara
itu dari jauh terlihat Pak Saiful masih mengejarku dengan menggenggam batu
berlumuran darah, matanya menatap tajam penuh amarah.
Tiba-tiba
kakiku terasa kaku, pandanganku menjadi kabur.
Perlahan
ku buka mata. Disamping kanan dan kiri beberapa orang sedang berdiri menatapku
yang terlentang dalam sebuah wadah panjang seukuran tubuh manusia. Bau aroma
khas menyeruput masuk ke dalam hidungku. Air dingin membasahi tubuh dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Sebuah kain panjang bermotif batik dengan warna coklat muda
juga ikut basah. Tetesan air meluncur jatuh ke bawah, menggenang. Ku lihat 3
buah batu hitam dalam genangan air.
Sayup
terdengar lantunan ayat-ayat suci yang bercampur dengan suara tangis dari seseorang
yang sangat ku kenal, ibuku.
“Rara,
jangan tinggalkan ibu nak” bisiknya sambil terisak.
Ingin
sekali ku sampaikan, betapa aku sangat menyayanginya, tapi lidahku terasa kaku,
tak mampu untuk berucap.
Mataku
terus menerawang, memandangi arak-arakan awan putih dilangit. Berjalan tak
berdaya mengikuti arah angin. Sementara itu, sekali lagi terdengar suara
gemericik air disiramkan lembut ke arahku. Kembali air itu bermuara dibawah
tubuhku, diantara beberapa potongan gadang pisang yang tersusun rapi.
Sejurus
kemudian, hening.
0 komentar :
Posting Komentar