Jam 5 subuh aku bangun
untuk sholat subuh. Ku lihat Sarah dan Tara masih rapi tertutup selimut.
Selesai sholat, ku lanjutkan ritual tidurku. Suasana pagi yang mendung dan dingin
membuatku betah dalam selimut.
Sekitar jam 8 pagi aku
kembali terbangun dan tersadar bahwa aku sedang berada di Bali, lebih-lebih ini
adalah hari terakhirku. Aku harus bangun dan pergi jalan-jalan, lagian istirahatku pun
sudah cukup.
Aku teringat ketika Mei
yang lalu aku bersama tiga orang teman tiba di Bandara Changi pukul 00.25 waktu
Singapore dan kami harus menempuh waktu setengah jam perjalanan menuju hostel. Sampai di
hostel pun kami harus berbenah sampai waktu menunjukkan pukul setengah 3 dini
hari. Ketika bangun pagi harinya, kami tidak bisa bermalas-malasan. Kami saling
mengingatkan bahwa kami sedang berada di Singapore dan rugi besar jika datang
jauh-jauh ke Sg hanya untuk tidur.
Itulah awal ceritaku di
Singapore, mana ceritamu? J
Menyadari itu, aku segera
ke kamar mandi, dandan dan jalan lagi. Kali ini tujuanku masih sama, yaitu Pura
Taman Ayun di Menguwi. Bu Nen lah yang mengusulkan untuk pergi kesana. Tadinya aku
mau pergi ke Pura Besakih, tapi Bu Nen setengah melarang karena lokasinya yang
lumayan jauh.
Males bertanya seperti
hari-hari kemarin, ku gunakan GPS seperti saran Bu Nen (lagi). Kurang lebih 1
jam perjalanan, akhirnya sampailah aku di Pura Taman Ayun Menguwi.
Setelah memarkir motor, kuikuti arak-arakan
orang berjalan. Beberapa meter dari gerbang aku harus mampir di loket untuk
membeli tiket masuk. Nah disinilah aku mulai teringat, sepertinya aku sudah
pernah antri seperti ini. Masuk ke dalam aku teringat lagi suasana-suasana
lain. Naik ke atas, melihat pohon bambu dan
sungai di bawahnya, aku makin yakin bahwa aku memang sudah pernah kesana. Tak
apalah, hitung-hitung reunian
sama bangunan dan pohon-pohon disini.
Pura Taman Ayun |
Tidak ingin repot, di
Bali aku hanya menyewa taxi untuk mengantar ke tempat-tempat tujuan wisata. Pak
supir membawaku ke Tanah Lot, Bedugul, Joger dan satu tempat lain yang aku tidak tahu
namanya. Seingatku, tempat itu berdekatan dengan beberapa kantor. Nah sekarang
aku baru tahu bahwa tempat itu bernama Pura Taman Ayun yang terletak di
Menguwi.
Foto-foto alone deh :( |
Dari kisah itu, aku
menyadari bahwa aku harus bersyukur bisa jalan-jalan, sendirian lagi dan tak
perlu repot mengurus orang lain. Tapi tetap saja, seberat
apapun mengatur teman, seseram apapun penginapan, sesusah apapun mencari
makanan halal, sesedih apapun ingin sholat dan sejauh apapun ketika nyasar,
kayaknya tetap lebih tenang jika ada teman walo hanya seorang.
Motor pinjaman, haha.. |
Jam 12 siang
aku sudah berada di Jl. Cokroaminoto, seingatku disini ada mesjid yang lumayan
besar dan pastinya jika ada mesjid, maka akan ada pula tempat makan halal.
Benar saja, sebelum sampai mesjid, aku melihat tulisan “Warung Barokah” dengan
lambang halalnya. Kuparkir motorku, mepet persis di pinggir jalan. Menu yang
kupilih adalah rawon dan es teh manis. Pas banget dinikmati saat cuaca panas
dan gerah seperti ini.
Nasi rawon dan
es teh pun alhamdulillah habis ku lahap. Perjalanan berlanjut menyisir
pinggiran menuju mesjid yang berada hanya beberapa ratus meter dari warung
Barokah.
Warung Barokah |
Setelah
memarkir motor, telingaku menangkap suara riuh. Ternyata suara itu berasal dari
arak-arakan di jalan raya. Ku tanya mbak-mbak yang baru keluar dari mesjid. Si
mbak-mbak bilang kalo itu adalah arak-arakn untuk upacara Ngaben. Aku langsung
mengambil beberapa gambar sambil terus berjalan mendekat. Sebenarnya pengen
banget untuk menyeberang agar dapat menyaksikan dari dekat, tapi pakaianku
melarangnya. Akan sangat kontras jika aku mendekati upacara itu. Si ibu yang
berdiri disampingku mengatakan bahwa tidak apa-apa jika aku ingin ikut masuk
dan menyaksikan langsung. Tapi kembali lagi, aku merasa sangat berbeda dan para
Pecalang yang mondar mandir di gerbang kuburan membuatku mengurungkan niat.
Ngaben |
Akibat keseringan jalan sendalku sampai jebol :D |
Hari itu
jalanan sekitar pusat kota sangat ramai dan macet dipenuhi mereka yang
berpakaian adat khas Bali. Kulihat di sebuah rumah, para laki-laki berkumpul
membuat sesuatu yang terbuat dari daun kelapa gading berwarna kuning. Entah
apalah namanya.
Satu hal yang
tidak kusukai dari Denpasar adalah jalannya yang kebanyakan satu arah. Aku benar-benar
bingung dan kesal dibuatnya. Seingatku, ada dua kali aku mengelilingi jalan
yang sama dikarenakan jalan satu arah ini. Jalan yang seharusnya lurus akan
berbelok jika sedang ada ritual sembahyang, ini membuatku pusing untuk mencari
jalan untuk kembali ke jalur awal. Andai itu jalan yang lancar, mungkin akan
sedikit menghemat waktuku dan tidak perlu berpanas-panas ria serta berdebu.
Dengan susah
payah dan masih mengandalkan GPS, tibalah aku di Kantor Pajak Pratama Badung.
Rumah Mas Kresna berada persis diseberang kantor ini. Kepada Mas Kresna, ku
serahkan motor, kunci, STNK serta sejumlah uang kekurangan sewa.
Aku diantar
pulang oleh Pak Jamali, ojek langganan Mas Kresna. Sampai kamar aku
bersih-bersih, sholat, lalu tidur. Kedua teman Kanada ku sedang tidak ada.
Bangun tidur aku segera mandi. Keluar dari kamar mandi, betapa terkejutnya aku
menyaksikan pemandangan dihadapanku.
Jujur, sampai
kali ke dua pergi ke Bali, aku tidak pernah berpikir akan pergi ke pantai
apalagi hanya untuk menyaksikan bule-bule berjemur dengan pakaian yang sangat
minim. Nah kali ini aku sedang berada dikamar, bukan dipantai, tapi pakaian Sarah
dan Tara membuatku seperti sedang berada di pantai. Ku lihat Sarah sedang duduk
dikursi dengan hanya memakai bikini. Tara pun tidak jauh berbeda, hanya saja
dia sedang duduk di bednya dan sedikit tertutup oleh selimut.
Mereka
menyapaku ramah. Ku atur ekspresiku senormal mungkin. Ku pikir mereka pasti
mengira aku sudah biasa dengan keadaan seperti ini. Kami mengobrol sedikit
tentang pengalaman hari itu. Mereka bercerita tadi pergi ke pantai untuk
berjemur sampai kulit mereka terbakar dan kemerah-merahan. Aku bercerita
tentang Pura Taman Ayun yang siang itu aku kunjungi. Kubilang juga bahwa aku akan bersiap pergi
lagi malam itu dan merekapun pamit untuk makan malam di bawah.
Karena Bu Nen
janji menjemput jam 7 malam, akupun menyalakan laptop mencoba mendownload film
untuk mengisi waktu. Sampai tiba-tiba “Hai..” kudengar sebuah sapaan yang ku
jawab juga dengan “hai..” dengan logat yang di inggris-inggris kan. Ku kira
Sarah ato Tara yang naik lagi karena ketinggal sesuatu, eh ternyata Bu Nen yang
nyelonong aja masuk ke kamarku.
Tuk rebahan dengan cueknya |
Malam itu Bu
Nen mengajakku ke pantai Kuta. Menyusuri Legian, Bu Nen bercerita sedikit
tentang tragedi Bom Bali. Tentang restoran ibunya, tentang teman-temannya yang
bekerja di hotel di Legian sampai pasiennya yang belum sembuh karena trauma Bom
Bali.
Bu Nen
menghentikan motornya di parkiran pinggir pantai. Awalnya aku menolak diajak ke
pantai, tapi kata Bu Nen, ini supaya nanti jika aku ditanya “apa sudah pernah
ke pantai Kuta?” Aku bisa jawab dengan kata “sudah” , hehe.. bener juga.
Suasana di
pantai Kuta sangat gelap. Kami duduk menghadap laut, dari jauh terlihat kerlap
kerlip lampu batas aman untuk berenang, itu juga kata Bu Nen, hihi.. Tadinya
kupikir cahaya itu datangnya dari mercusuar. Percikan kembang api dari jarak
yang tidak terlalu jauh dengan pantai, membuat malam itu sudah seperti malam
tahun baru ato bisa juga sebagai ucapan perpisahan karena malam itu adalah
malam terakhirku di Bali. Setelah kembang api behenti, Bu Nen mengajakku untuk
makan.
Sebelumnya aku
tidak pernah makan makanan aneh apalagi yang berasal dari luar negeri. Aku di
Bangkok tidak ada kepikiran untuk nyobain Tom Yum, di Kuala Lumpur pun tidak
ada niat untuk mencoba Nasi Lemak. Padahal makan seperti itu sangat mudah di
dapat di negara asalnya.
Oleh Bu Nen aku
setengah dipaksa makan Tom Yum dengan syarat jika aku tidak suka, Bu Nen akan
membantu menghabiskan. Minuman yang dipilihkan Bu Nen untukku malam itu adalah
Cool Thai Tea, jadi malam itu dinnerku bertema Thailand. Bu Nen pilih Takoyaki
dan minumnya yang aku lupa namanya, yang pasti minuman itu sudah tertukar
ketika diambil, haha.. Sebelum makan, kami foto-foto dulu kayak abg-abg lain. Iih,
malu-maluin ya, ha3..
Tarraaa.. !! makanan sudah siap.. |
Malam itu
kembali turun hujan, lumayan lebat disertai kilat dan petir yang bergemuruh.
Aku gelisah ga bisa tidur. Trauma itu datang lagi. Trauma naik pesawat,
smpai-sampi aku bermimpi tertinggal pesawat.
Aku sering
terjaga mendengar suara petir diluar. Ku lirik Sarah dan Tara juga sama
sepertiku. Ada seberkas cahaya datang dari selimut Tara, ternyata jam segini
dia juga ga bisa tidur.
Alarm hp ku
berdering, tandanya aku harus bangun, mandi, sholat dan packing. Dengan badan
yang agak kurang fit karena tidur yang terganggu tadi malam, tetap kupaksakan
untuk bangun.
Aku berusaha
menyusun barang dengan suara yang seminimal mungkin. Karena banyaknya titipan,
kali ini koperku nyaris tidak muat. Alternatifnya kumasukkan sebagian barang ke
dalam tas laptop. Akhirnya koperku yang malang ini harus ku buka juga resleting
yang satunya supaya muat. Selesai packing ternyata Sarah dan Tara sudah bangun.
Aku minta maaf karena mungkin aku berisik dan membuat mereka terbangun. Sebelum
pergi, kuajak mereka berdua untuk foto bersama, sebagai kenang-kenangan.
Tara, Refma dan Sarah |
Kesanku selama
tinggal di Hostel World, semua diluar dugaan. Staf semuanya ramah, kekeluargaan
dan menjamin keselamatan serta kenyamananku disini. Terbukti selama dua hari dua
malam aku tinggal disini, aku merasa benar-benar enjoy dan nyaman.
Tak lama sebuah
taxi biru berhenti tepat di depan pelataran hostel. Tandanya aku harus
mengakhiri obrolan pagi bersama mas resepsionis. Pak supir memasukkan koperku
di bagasi belakang dan kemudian membukakan pintu untukku.
Mobil mulai
melaju. Untuk terakhir kalinya kutolehkan pandangan ke arah hostel berwarna
hijau daun itu. “Keep calm and save the trees”, tulisan itu terpampang jelas di
dinding kamarku. Seperti pohon, hostel ini sudah menaungi dan melindungiku pada
dua hari terakhirku di Denpasar.
Lagi apa bu? HEee.. |
I will always
miss you all..
0 komentar :
Posting Komentar